Orang Kaya yang Pandai Bersyukur ataukah Orang Miskin yang Selalu Bersabar?
Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST
Inilah yang mungkin sering diperselisihkan oleh orang kaya dan orang miskin. Setiap golongan pun menyampaikan argumennya masing-masing. Tiap argumen yang disampaikan tidak mungkin ditolak karena sama-sama berlandaskan pada Al Qur’an, As Sunnah dan perkataan sahabat.
Imam Ahmad rahimahullah juga memiliki dua pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama: orang kaya yang pandai bersyukur lebih utama. Pendapat kedua: orang miskin yang selalu bersabar lebih utama.
Di antara para ulama yang menyatakan bahwa orang miskin yang sabar lebih utama beralasan: orang miskin lebih cepat dihisab di akhirat nanti daripada orang kaya. Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa orang kaya yang pandai bersyukur lebih utama beralasan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri selalu meminta pada Allah agar diberi sifat ghina (kaya, merasa cukup dari apa yang ada di hadapan manusia).
Pendapat yang Lebih Tepat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan mengenai keutamaan suatu hal dari yang lainnya, di antaranya beliau ditanyakan mengenai manakah yang lebih utama antara orang kaya yang pandai bersyukur atau orang miskin yang selalu bersabar. Lalu beliau jawab dengan jawaban yang sangat memuaskan, “Yang paling afdhol (utama) di antara keduanya adalah yang paling bertaqwa kepada Allah Ta’ala. Jika orang kaya dan orang miskin tadi sama dalam taqwa, maka berarti mereka sama derajatnya.” (Badai’ul Fawaidh, 3/683). Itu pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Al Furqon hal. 67.
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Menurut para peneliti dan ahli ilmu bahwa keutamaan di antara orang kaya dan orang miskin tidak kembali pada miskin atau pun kayanya. Namun itu semua kembali pada amalan, keadaan, dan hakikatnya. … Keutamaan di antara keduanya di sisi Allah dilihat dari ketakwan, hakikat iman, bukan dilihat dari miskin atau kayanya. Karena Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13)
Dalam ayat ini, Allah tidak mengatakan bahwa yang paling mulia adalah yang paling kaya di antara kalian atau yang paling miskin di antara kalian.” (Madarijus Salikin, 2/442)
Dalam shohih Bukhari dan Muslim, terdapat riwayat dari Abu Hurairah,
Ada yang mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling mulia?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling bertakwa.”
Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “(Yang paling mulia adalah) Yusuf, Nabi Allah. Dia anak dari Nabi Allah (Ya’qub). Dia cucu dari Nabi Allah (Ishaq). Dan dia adalah keturunan kekasih Allah (Ibrahim).”
Kemudian mereka yang bertanya tadi berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah mengenai barang tambang Arab yang kalian tanyakan? (Manusia adalah barang tambang), yang paling baik di antara mereka di masa Jahiliyah adalah yang paling baik di antara mereka di masa Islam, namun jika mereka memiliki ilmu.”
Semoga Allah memberi kita sifat taqwa, sifat ‘afaf (yang selalu menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik) dan memberikan kita sifat ghina (merasa cukup dari apa yang ada di hadapan manusia). Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
[Tulisan ini terinspirasi dari pelajaran kitab Al Furqon baina Awliya’ir Rohman wa Awliya’isy Syaithon bersama Ustadz Aris Munandar, S.S., M.Ag. pada tanggal 10 Muharram 1430 H>
Rujukan:
1. Al Furqon Baina Awliya’ir Rohman wa Awliya’isy Syaithon, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Maktabah Ar Rusyd
2. Badai’ul Fawaidh, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Asy Syamilah
3. Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Asy Syamilah
Pangukan, Sleman, 11 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, ST